Oleh Drs. Mohamad Awaludin
Peran Suami
Keluarga Berencana adalah upaya
mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan
melalui promosi, perlidungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas (Pasal 1 butir ke-8 Undang-Undang No.52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Kata
kunci “mengatur kelahiran anak” tidaklah mutlak kewajiban seorang ibu/istri,
walaupun kodrat alami seorang istri untuk hamil, melahirkan, menyusui dan
merawat anak, peran suami juga mutlak diperlukan.
Badan Kependudukan Perserikatan
Bangsa Bangsa atau UNFPA mengatur peran pria dalam kesehatan reproduksi, yaitu:
1) mendukung dan merawat istri hamil
dengan cara mengetahui tanda-tanda persalinan dan mendampingi istri saat
bersalin dan pasca persalinan,
2) merawat bayi dengan cara
meyakinkan layanan kesehatan, pemenuhan kebutuhan gizi dan tumbuh kembang anak
secara optimal,
3) mendidik anak perempuan dengan
cara mendorong keterlibatan anak perempuan dalam pengambilan keputusan
keluarga,
4) berbagi peran sebagai orang tua
dengan cara meyakinkan kesehatan reproduksi keluarga, merencanakan keluarga dan
partisipasi dalam ber KB untuk menentukan jumlah, jarak dan waktu kehamilan
serta tempat persalinan.
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
lebih tegas lagi mengatur peran pria dalam ber-KB disebutkan dalam Pasal 25
Ayat 1 : Suami dan/atau istri mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
dalam melaksanakan keluarga berencana, dan Ayat 2 : Dalam menentukan cara
berkeluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) Pemerintah wajib
menyediakan bantuan pelayanan kontrasepsi bagi suami dan istri.
Jelas sudah bahwa peran
pria/suami dalam ber KB telah diatur baik secara nasional maupun internasional.
Peran suami dalam ber KB bisa dilaksanakan dengan “partisipasi tidak langsung” yaitu
upaya menghilangkan pola pikir patriarkhis
sehingga menempatkan peran istri sejajar dengan peran suami untuk mewujudkan
keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Peran suami dalam ber-KB bisa
dilaksanakan dengan “partisipasi langsung” yaitu menggunakan salah satu alat
kontrasepsi pria berupa Kondom atau Vasektomi/MOP.
Kontrasepsi
Suami
Rendahnya partisipasi suami terutama
dalam penggunaan kontrasepsi salah satu sebab dipicu oleh ketakutan istri
terhadap isu negatif/rumor penurunan gairah hubungan intim dengan suami dan
pilihan kontrasepsi hanya terbatas pada kontrasepsi kondom atau vasektomi/MOP,
karena itu perlu dikembangkan kontrasepsi hormonal pria layaknya suntik, implan
atau pil KB testoteron. Hasil SDKI tahun 2007 menunjukkan bahwa 57,4% PUS
sedang menggunakan alat/obat kontrasepsi modern, namun hanya 1,5% saja yang
menggunakan metode kontrasepsi pria (kondom dan vasektomi/MOP). Kondom sebagai
salah satu alat kontrasepsi pria sebenarnya sudah dikenal sejak abad ke-19
Masehi.
Goodyear dan Hancock (Inggris)
pada tahun 1844 mulai mengembangkan pembuatan Kondom dari bahan karet elastik
yang kuat. Kelebihan kondom sangat efektif sebagai alat kontrasepsi pria bila
dipakai dengan benar, dapat meningkatkan gairah hubungan intim suami-istri
karena ada jenis Kondom bergerigi, alur dan berbagai aroma.
Vasektomi/MOP (Medis Operasi Pria)
adalah tindakan operasi kecil dengan cara pemotongan, pengikatan, penyumbatan
kedua vas deferens (saluran sel sperma) pria sehingga terjadi azoospermi (cairan
sperma tidak mengandung sel sperma). Vasektomi modern yang lebih dikenal dengan
istilah vasektomi tanpa pisau/VTP sudah disempurnakan oleh Li Sungiang (China)
dan Mark Golstein (Amerika Serikat)
pada tahun 1985 diperkenalkan di banyak negara termasuk di Indonesia oleh
dokter Widjoseno Gardjito, dokter Djoko Rahardjo, dokter Radi Yuwana dan dokter
Sungsang Rochadi di berbagai klinik KB pemerintah dan swasta. Vasektomi tidak
dapat dilakukan apabila pasangan suami-istri masih menginginkan anak, atau
suami menderita penyakit kelainan tertentu. Vasektomi mempunyai ciri khusus
dibandingkan dengan kontrasepsi lainnya yakni mempunyai sifat permanen, oleh
karena itu, dibutuhkan konseling mantap sebagai berikut:
1. Pra tindakan: tidur dan istirahat
yang cukup; mandi dan bersihkanlah sekitar alat vital pria; pakailah celana
dalam yang bersih; makan dahulu sebelum ke tempat pelayanan/klinik; bawalah
surat persetujuan (informed concent) dari istri yang telah ditanda tangani;
datanglah ke klinik KB dengan teman pengantar, hubungi petugas kesehatan klinik,
tunggulah hingga tiba giliran untuk dilayani.
2. pasca tindakan: istirahatlah 1-2
hari; jagalah bekas luka operasi jangan sampai terkena air atau kotoran; pakailah
celana dalam yang bersih; makanlah obat yang diberikan sesuai dengan anjuran;
kembalilah memeriksakan diri ke klinik setelah 1 minggu; selama 1 minggu
setelah operasi dilarang melakukan pekerjaan berat seperti memikul, mencangkul,
memanjat pohon atau naik sepeda; dianjurkan bila melakukan hubungan intim
suami-istri bekas luka operasi sembuh lebih dahulu dan memakai kondom sampai 15
kali. Tunggu apalagi segera ambil keputusan: Suami ikut KB, siapa takut!
Referensi :
Bambang Agus Suryono. 2007. Meningkatkan Partisipasi Pria dalam Program KB
melalui Vasektomi dan Pemakai Kondom. Semarang. Warta KB.
Djoko Rahardjo. 1996. Pedoman Pelayanan Vasektomi Tanpa Pisau.
Jakarta.PKMI.
Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga.Jakarta.Sekretariat Negara.
UNFPA. 2007. Peran Suami dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta. Leaflet.
Wahyu Setyaningsih. 2010. Peran dari Kontasepsi Pria dalam Kesehatan
Reproduksi Pria. Semarang. Warta KB.
0 komentar:
Posting Komentar
Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.