09 Februari 2012

Perkosaan dalam Perkawinan, Adakah?

Oleh : Iman Solikhin, S.Sos.


Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukan bahwa KdRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban. World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40 hingga 70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.
(www.jurnalhukum.blogspot.com)


Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lebih lanjut dijabarkan dalam undang-undang tersebut bahwa KdRT itu meliputi ; kekerasan yang bersifat fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.



Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan)

Berbicara mengenai kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, maka ada satu jenis tindak kekerasan yang selama ini kerap luput dari pengamatan kita yakni perkosaan dalam perkawinan atau sering disebut dengan istilah marital rape. Perkosaan dalam perkawinan dapat dipahami sebagai sebuah bentuk pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istri atau mungkin sebaliknya. Bagi masyarakat kebanyakan, istilah perkosaan dalam perkawinan merupakan sebuah istilah yang masih sangat asing. Pasalnya masyarakat beranggapan bahwa setiap hubungan seksual antara suami-istri, terlebih dalam ikatan yang sah secara hukum dan agama, adalah sebuah kewajaran dan rutinitas yang memang sudah seharusnya dilaksanakan.

Perkosaan dalam perkawinan biasanya terjadi ketika salah satu pasangan menolak untuk diajak berhubungan intim karena berbagai alasan seperti sedang tidak enak badan, sedang kelelahan dan sebagainya. Meski dilakukan oleh orang terdekatnya, bahkan mungkin orang yang paling dicintainya, ternyata marital rape tetap saja memberikan penderitaan atau kesengsaraan yang tidak sedikit bagi sang korban. Rusaknya organ vital dan perasaan traumatik yang berkepanjangan merupakan dua diantaranya. Jika sudah begini, maka tujuan mulia dari sebuah perkawinan menjadi kabur. Karena idealnya sebuah perkawinan mampu memberikan rasa tenteram dan ketenangan batin bagi kedua pasangan.    

Bagi komunitas muslim, salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang kerapkali dijadikan dasar kaum laki-laki memaksa istrinya untuk melakukan hubungan seksual adalah Q.S. Al – Baqarah : 223 yang artinya “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Ayat tersebut cenderung dipahami secara apa adanya. Padahal sejatinya, kalau dicermati secara seksama ayat tersebut mengandung sebuah pengertian hubungan suami-istri yang penuh kehati-hatian. Kehati-hatian bagi seorang “petani” untuk menabur benih yang baik dan berkualitas. Selain itu, dalam pengertian yang lebih jauh, ayat tersebut menunjuk bahwa seorang suami memiliki tanggung jawab yang besar terhadap “ladang” yang diamanati oleh Allah SWT. Dengan demikian, ladang tersebut seyogyanya dirawat sedemikian rupa agar tetap subur.  

Selain nash Al-Qur’an, kitab-kitab fiqih pun sering dijadikan rujukan untuk memperkuat posisi suami berbuat semaunya terhadap sang istri. Konsep perkawinan yang dibina, dirumuskan sebagai ‘aqd wadha’ahu al-syaari’ li yufid milk istimta’ al-rajul bi al-mar’ah wa hill istimta’ al-mr’ah bi al-rajul yang artinya akad/transaksi/ikatan yang diatur agama (syar’) dengan memberi kepada laki-laki hak milik penikmatan seksual istrinya dan halalnya istri menikmati tubuh laki-laki. (Wahbah, al-fiqh al-Islami dalam Majalah Hidayah). Yang dimaksud hak milik penikmatan seksual adalah hak milik pemanfaatan (al-intifa’).

Pernyataan ini memperlihatkan bahwa perkawinan hanya diperlukan bagi kepentingan kenikmatan seksual pada satu sisi dan adanya hubungan yang tidak seimbang antara suami dan istri di sisi yang lain. Tampak bahwa pemilik manfaat kenikmatan atas tubuh adalah hanya kaum laki-laki. Kondisi yang demikian memunculkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Bagi seorang suami, kenikmatan seksual adalah sebuah hak, sementara bagi seorang istri adalah suatu kewajiban. Ini artinya, seorang istri berkewajiban melayani suami kapanpun sang suami memintanya. Sebuah relasi sosial yang sangat tidak adil.      

Interpretasi dan pemahaman yang keliru dan hanya bersifat tekstual serta kurang memahami dimensi rohaniah – spiritualitas semacam itulah yang kerapkali menjadikan Islam dituding sebagai agama yang merendahkan kaum perempuan. Padahal sebagaimana disampaikan Ashgar Ali Engineer (1999), kitab suci Al – Qur’an lebih adil terhadap kaum perempuan. Al – Qur’anlah yang untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, telah mengakui perempuan sebagai entitas yang sah dan memberi mereka hak dalam perkawinan, perceraian, harta dan warisan. Islam merupakan agama yang menempatkan perempuan sebagai sesosok makhluk yang mulia. Demikian pun halnya dengan agama yang lain, penulis yakin bahwa tidak ada satu pun agama yang menempatkan perempuan lebih rendah dibanding kaum laki-laki.

Jika agama sudah sedemikian rupa dalam memuliakan perempuan, lalu kenapa kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam perkawinan masih saja tetap terjadi…??? Menurut penulis hal ini tidak bisa dilepaskan dari masih suburnya anggapan masyarakat bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding perempuan. Oleh karena itu laki-laki merasa lebih berkuasa terhadap perempuan. Budaya kita menempatkan laki-laki sebagai makhluk yang superior, kelas satu dan selalu dominan. Sementara perempuan hanyalah warga kelas dua dan senantiasa berada pada posisi inferior. Budaya yang terus-menerus tersosialisasikan melalui berbagai media ini kemudian mempengaruhi pola perilaku masyarakat, termasuk dalam ruang privat (rumah tangga). Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu efek negatif dari dominannya peran suami dalam keluarga.

Sebagai penutup, penulis perlu menyampaikan bahwa saat ini memang sudah ada undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) yakni UU No. 23 Tahun 2004, namun yang terpenting adalah bagaimana mengurai akar permasalahan ini semua. Kita harus berupaya mencari solusi untuk bisa menciptakan sebuah hubungan suami istri yang saling menghormati dan saling menguatkan. Hubungan yang penuh cinta dan kasih sayang. Sebuah hubungan yang mampu memberikan ketenangan batin dan rasa tenteram bagi keduanya. Bukan sebuah hubungan yang didasari rasa untuk saling menguasai…… Wassallam…            





Sumber Pustaka :



Ali Engineer, Asghar. 1999. Pembebasan Perempuan. Penerbit LkiS ; Yogyakarta.

Setiati, Eni. 2006. Sexual Happiness in Marriage : Kebahagiaan Seksual di dalam Perkawinan. Penerbit Santusta : Yogyakarta.

Majalah Hidayah Edisi Bulan April 2006.        

www.jurnalhukum.blogspot.com



*) Penulis adalah Penyuluh KB Kecamatan Bantarkawung Kab. Brebes

d/a Kantor UPT BKBPP Kec. Bantarkawung – Brebes (52274)

HP. 085 227 588 910

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.

Klik Like! : Apakah anda tertarik dengan blog ini?