Oleh: M. AMRULLOH, ST. (PKB Kecamatan Bumiayu)
IPM
(Indeks Pembangunan Manusia) atau
dalam istilah internasional sebagai Human Development Index (HDI)
adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup,
melek huruf,
pendidikan
dan standar hidup
untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah
sebuah negara adalah negara maju, negara
berkembang atau negara terbelakang dan
juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas
hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen
dan seorang ekonom Pakistan Mahbub ul Haq, serta
dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale
University dan Lord Meghnad Desai dari London School
of Economics. Sejak itu indeks ini dipakai oleh Program
pembangunan PBB
pada laporan IPM tahunannya.
Meskipun awalnya objek IPM
adalah negara, namun dengan metodologi yang sama dapat pula ditentukan IPM bagi
wilayah-wilayah yang lebih kecil hingga tingkat desa. Lalu bagaimana IPM
Kabupaten Brebes (kita)?
Berdasarkan
data BPS bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, nilai IPM
Kabupaten Brebes dari tahun 2004 hingga 2010 berturut-turut adalah 63.4, 64.3,
65.9, 66.57, 67.08, 67.69, dan 68.2. Ya, semakin mengalami kenaikan. Tapi
tunggu dulu. Lalu bagaimana dalam perbandingannya dengan Kabupaten/Kota lain di
Jawa Tengah? Di 2004, Brebes menempati peringkat 35 dari 35 Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah, dan ‘prestasi’ ini bertahan untuk 6 tahun berikutnya hingga 2010.
Wow,
bayangan saya, andai Brebes adalah seorang murid sekolah, pastilah ia murid
yang akan paling lama menghuni pada sebuah kelas yang sama.
VICIOUS CIRCLE OF POVERTY
IPM mengukur pencapaian
rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:
- hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran
- Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
- standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.
Ada 3 (tiga)
kata kunci yang sama-sama bisa kita lihat dari ketiga parameter di atas:
kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Ketiga-nya bukanlah kata yang berdiri
sendiri dan tak memiliki keterkaitan, sebaliknya mereka adalah ‘saudara yang
sangat hangat’. Koncoro
(1996) dalam teori vicious circle of poverty
(lingkaran setan kemiskinan) bahwa kemiskinan adalah sebagai akibat dari adanya
keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal yang akan
menyebabkan rendahnya produktivitas, rendahnya produktivitas akan menyebabkan
rendahnya pendapatan, rendahnya pendapatan maka rendah pula tabungan/investasi,
dan karena tidak ada investasi/tabungan maka akhirnya bermuara lagi kepada
keterbelakangan dan seterusnya.
Keterbelakangan, dalam teori di atas,
tentunya merujuk pada kualitas SDM. Sedangkan kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Rendahnya produktivitas,
beberapa ekonom menganggap bahwa kesehatan merupakan fenomena ekonomi, baik
jika dinilai dari stok maupun sebagai investasi. Sehingga fenomena kesehatan menjadi variabel yang
nantinya dapat dianggap sebagai faktor produksi untuk meningkatkan nilai tambah
barang dan jasa. Rendahnya
pendapatan, sangat jelas ini adalah ruh bagi kehidupan dapur seseorang,
inilah yang kita sebut sebagai tingkat ekonomi.
Maka menjadi masuk di akal
kita ketika kesehatan, pendidikan, dan ekonomi dikatakan sebagai
lingkaran setan yang disinyalir merupakan tersangka utama penyebab kemiskinan.
Lalu dalam korelasinya dengan rendahnya IPM kita, dapat kita logikakan bahwa
tingkat kesehatan, pendidikan, dan ekonomi kita masih lebih rendah jika
dibandingkan Kabupaten/Kota saudara kita satu propinsi, dalam kurung, lebih
miskin.
SAATNYA NAIK
KELAS!
Kelaziman
pembangunan di Indonesia, termasuk di Kabupaten Brebes, senantiasa menjadikan
pengentasan kemiskinan sebagai isu strategis yang kemudian melahirkan program-program
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Diakui atau tidak, bahwa program
pengentasan kemiskinan sampai saat ini belum menunjukan hasil yang
menggembirakan, kalau tidak ingin disebut gagal. Hal ini dikarenakan
pengentasan kemiskinan hanya menggunakan pendekatan ekonomi yang bersifat materialistik
dan jangka pendek. Dalam kajian Kompas bahwa penyebab kegagalan proses
pengentasan kemiskinan itu didasari oleh dua faktor utama yaitu;
1.
Penanggulangan
kemiskinan cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial seperti
jaring pengaman social, beras untuk rakyat miskin, dll. Padahal seharusnya
diorientasikan pada upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif
2.
Kurangnya
pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan, sehingga program
pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya
berbeda-beda secara lokal
Maka
Program KB hadir untuk mendampingi program yang telah berjalan di atas sebagai
sebuah strategi pengentasan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan
kependudukan,
meskipun hasilnya baru akan dirasakan dalam jangka panjang. Dengan kata lain,
Program KB menitik beratkan pengentasan kemiskinan pada sumber kemiskinan itu
sendiri, yaitu sumber daya manusia-nya. Dengan meningkatnya SDM maka secara
serial akan meningkat pula kesejahteraan masyarakat itu, dan seterusnya
bersiklus.
Ide sederhananya seperti ini :
Salah satu program (dari banyak program) keluarga berencana adalah pengaturan
jumlah anak. Jumlah anak direncanakan sesuai tingkat kesanggupan sebuah
keluarga dengan mempertimbangkan aspek sosio-ekonomi. Dengan jumlah anak yang
‘dibawah kendali’ maka variable-variabel pendidikan dan kesehatan akan dapat
diakses dengan lebih mudah, tentu saja ini berimplikasi pada meningkatnya
produktifitas sebuah keluarga yang pada tepiannya derajat kesejahteraan akan
terjaga di level aman.
Itu hanya dari satu sisi
manuver program, sedangkan Program KB memilik banyak grand-strategy lain yang tak kalah dahsyat dalam tujuan peningkatan
kualitas SDM, antara lain program pendewasaan usia kawin, pembinaan ketahanan
keluarga, dan peningkatan kesejahteraan.
Sebenarnya oleh para ahli,
hal ini sudah disadari dan diyakini akan berhasil dengan catatan Program KB
berlari dengan kelajuan yang konsisten dari mulai peluncurannya di 1970-an, hingga
saat ini dan seterusnya.
Permasalahan muncul ketika di
1999 terbit Undang-Undang nomor 22, yang kemudian diamandemen di tahun 2004
melalui Undang-Undang nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyerahkan
sebagian kewenangan (termasuk Program KB), dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Maka saat itu kelajuan lari program KB mulai terganggu. Bagaimana
tidak, Program KB akan berjalan (atau tidak) menjadi tergantung pada tingkat
kemampuan dan kemauan sebuah daerah, belum lagi kepentingan sosial-politik
sering kali ikut andil didalamnya. Meskipun, kita juga tak bisa mengabaikan
permasalahan-permasalahan lainnya seperti isu HAM dan eskalasi suhu politik di
akhir 90-an.
Pada akhirnya,
jika kita ingin naik kelas tahun depan, maka tidak bisa tidak, Program KB
dengan segala infrastrukturnya harus segera di intensifikasi. Kita harapkan,
pemimpin kita dengan kearifannya akan menyejajarkan Program KB dengan
program-program pembangunan prioritas lainnya. Ketika itu terjadi, pada saat
yang bersamaan, pengelola program KB Kabupaten Brebes juga harus terus menjaga
dan meningkatkan spirit, serta menyamakan irama dalam menggelorakan kembali
Program KB, berbekal niat tulus mewujudkan Kabupaten Brebes yang lebih
sejahtera.
AYO IKUT KB, DUA
ANAK CUKUP!
Reff. :
1. Wikipedia
2. Ahmad,
Lipi. 2011. Kesejahteraan, Kemiskinan dan Program KB Di Jawa Barat. BKKBN. Jawa
Barat.
3.
Maryani, Tri. 2010. Analisis Indeks Pembangunan
Manusia Di Provinsi Jawa Tengah. Makalah. Yogyakarta.
4. Rusyono, D. 2011. KB DAN
PENGENTASAN KEMISKINAN (Signifikansi Program KB dengan Tingkat Kemiskinan).
Karya Tulis Program KB. Kuningan.
5. dan berbagai sumber.
0 komentar:
Posting Komentar
Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.