Konsep pembangunan yang selalu
mengutamakan pertumbuhan ekonomi (growth oriented) ternyata tidak
berhasil membangun harkat dan martabat manusia secara hakiki. Berdasarkan
kenyataan yang terjadi di lapangan, pembangunan yang semacam itu terutama hanya
menghasilkan pertumbuhan material, sehingga tidak mampu menghasilkan lapangan
kerja yang mampu mewadahi orang miskin.
Pembangunan itu justru telah menjerumuskan
dunia ke dalam tiga krisis besar yaitu ; kemiskinan, kekerasan, dan kerusakan
lingkungan. Contoh konkret adalah bagaimana pembalakan liar dan penggundulan
hutan yang kerapkali dilakukan demi sebuah proyek pembangunan.
Pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan menuntut sumber daya yang lebih besar dan tak terbatas. Maka
pembangunan seperti itu selalu ditandai dengan perebutan sumber-sumber sehingga
mengundang persaingan, konflik, peperangan, dominasi bahkan penindasan.
Dalam kondisi seperti ini
pengembangan manusia yang beretika dan beradab akan terabaikan. Dengan demikian
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan serta direncanakan secara rapi
dari atas (top down) harus dikoreksi dengan paradigma pembangunan baru,
yang sering disebut dengan pembangunan yang berpusat pada manusia (People
Centered Development).
Ciri penting dari pembangunan
paradigma baru ini adalah menempatkan manusia sebagai pusat (tujuan akhir) dari
aktivitas pembangunan, bukan hanya sebagai alat. Tujuan tertinggi dari pembangunan
adalah tercapainya human development.
Jadi apapun yang dihasilkan oleh pembangunan, baik itu pembangunan ekonomi,
fisik, akan dapat dikatakan berhasil jika mempu menciptakan dan mewujudkan human
development (pembangunan manusia).
Meski demikian, menempatkan
masyarakat, terutama masyarakat pedesaan sebagai subjek maupun objek
pembangunan bukanlah tanpa resiko. Sebab hal ini terkait dengan mentalitas atau
sikap mental masyarakat desa yang cenderung tidak selaras dengan pembangunan.
Sikap yang nrimo ing pandum atau pasrah pada keadaan merupakan salah
satunya. Sikap ini hanya akan menghasilkan individu-individu yang malas untuk
bekerja keras. Melihat fakta yang demikian, maka tulisan ini akan mencoba
membahas mengenai konsep pembangunan masyarakat melalui sisi yang berbeda,
yakni dari sisi sikap mental masyarakat yang kurang sesuai dengan semangat
pembangunan.
Pengertian Pembangunan
Mengenai
pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Siagian
(1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara
sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih
sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik
melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh
system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan
dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976)
mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya.
Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, proses pembangunan
terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik,
yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). (http://profsyamsiah.wordpress.com).
Beberapa Sikap Mental Masyarakat Yang
Cenderung Kurang Selaras Dengan Pembangunan
Dalam kaitannya dengan
pembangunan, maka penulis melihat ada beberapa mentalitas masyarakat pedesaan
yang tidak sesuai. Mentalitas atau sikap mental yang dimaksud disini adalah
konsepsi-konsepsi dan pandangan–pandangan terhadap lingkungan yang sudah lama
mengendap karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya dari
generasi terdahulu. Sikap mental atau mentalitas tersebut antara lain :
a. Secara umum masyarakat pedesaan tidak
memiliki orientasi berprestasi.
Sikap mental yang seperti ini
dapat dilihat dari persepsi masyarakat pedesaan mengenai waktu. Masyarakat desa
pada umumnya tidak memiliki orientasi ke masa depan yang cukup kuat. Pada
masyarakat biasa (kaum petani) orientasi kehidupannya didominasi ke arah masa
kini. Artinya mereka merasa puas dengan apa yang telah dicapai saat ini.
Sementara pada golongan priyayi, didominasi oleh orientasi ke masa lampau.
b. Masyarakat pedesaan umumnya bersikap
konformitas dan gotong-royong.
Gotong royong merupakan ciri
umum kultur masyarakat pedesaan di Jawa Tengah. Gotong royong kerapkali
dilakukan dalam berbagai sendi kehidupan, baik itu dalam bidang pertanian,
pembangunan rumah maupun ketika ada salah satu anggota masyarakat yang
meninggal dunia. Orientasi hidup seperti ini memiliki nilai yang tinggi, tetapi
jika dilakukan secara berlebihan dan tidak rasional akan dapat mematikan
potensi seseorang. Sebab jika dikaitkan dengan pembangunan, orientasi hidup
seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada individu untuk lebih berkembang
dibandingkan yang lain.
c. Orientasi hidup yang mementingkan pada
hubungan dengan atasan (orientasi vertikal).
Orientasi vertikal adalah
kepatuhan pada pimpinan, tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama. Masyarakat desa
pada umumnya akan dengan mudah mengikuti dan melaksanakan apa yang dikatakan
dan dilakukan oleh pemimpin atau orang yang dituakan. Dalam kaitannya dengan
pembangunan masyarakat, konsep hidup yang semacam ini kurang selaras karena
hasrat untuk mandiri akan dimatikan dan disiplin murni sering tidak berkembang
karena orang bersifat taat hanya apabila dilihat atau ada atasan.
Menurut Koentjaraningrat
(dalam Mustofa, 2005), nilai budaya yang berorientasi pada atasan, orang
berpangkat tinggi, senior dan orang tua mengakibatkan hasrat untuk berdiri
sendiri dan disiplin pribadi yang murni akan mati. Demikian pula mentalitas
yang selalu menunggu restu dari atas, tidak mendukung pembangunan.
d. Mentalitas takut mengambil resiko.
Sikap takut mengambil resiko
merupakan ciri umum masyarakat pedesaan di Jawa Tengah dan juga mungkin di
Indonesia. Sikap ini secara jelas terlihat ketika masyarakat dituntut atau
dihadapkan pada sesuatu yang baru. Kita semua tentu masih ingat bagaimana dulu
kalangan petani sangat susah ketika diajak untuk menggunakan pupuk. Atau
bagaimana dulu masyarakat merasa enggan mengkuti Program KB. Tapi sekarang
masyarakat secara sadar dengan sendirinya menggunakan pupuk dan alat kontrasepsi.
Namun ironisnya, sikap mental
yang semacam ini hingga sekarang masih tumbuh dan berkembang di masyarakat
pedesaan. Salah satu contohnya adalah keengganan petani menggunakan pupuk
organik sebagai pengganti pupuk kimia yang semakin langka. Sikap masyarakat
pedesaan yang masih takut mengambil resiko tentu tidak sejalan dengan semangat
pembangunan. Karena pembangunan kerapkali menawarkan sesuatu yang baru yang
mungkin tidak sesuai dengan nilai budaya masyarakat yang telah ada.
e. Sikap suka pasrah pada keadaan atau nrimo
takdir.
Orang Jawa memandang bahwa
hidup sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa yang penuh dengan kesengsaraan,
yang harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka menerima keadaan saat ini
sebagai sebuah nasib atau takdir dari Sang Maha Pencipta. Rakyat kecil yang
merupakan bagian terbesar masyarakat Jawa Tengah memiliki pandangan bahwa
bekerja hanya untuk dapat dapat makan karena itu tidak perlu bekerja terlalu
keras. Sikap mental yang demikian tentu kurang selaras dengan pembangunan karena
masyarakat menjadi kurang memiliki keinginan untuk maju dan berusaha
memperbaiki keadaan.
Kesimpulan
Pembangunan yang berpusat pada
manusia terutama yang dilakukan di pedesaan berarti menyangkut pula persoalan
kultur, budaya, sikap mental masyarakat yang telah mapan. Kenyataannya masih
banyak mentalitas masyarakat pedesaan sebagai perwujudan kultur atau budaya
yang masih kurang selaras dengan pembangunan. Dengan demikian pembangunan
masyarakat pedesaan haruslah dilakukan dengan perencanaan yang matang termasuk
bagaimana mencari solusi tentang mentalitas masyarakat pedesaan yang masih
cenderung kurang selaras dengan pembangunan.
Pemerintah sebagai pengambil
kebijakan pembangunan harus bisa menjadikan mentalitas masyarakat pedesaan
sebagai kekuatan dalam proses pembangunan. Masyarakat sebagai objek sekaligus
pelaku pembangunan juga seyogyanya berperan secara aktif terhadap setiap proses
pembangunan. Dengan demikian setiap bentuk pembangunan yang bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera bisa benar-benar terwujud.
*) Penulis adalah Penyuluh KB Kecamatan
Bantarkawung
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa,
Moh Solehatul. 2005. Kemiskinan Masyarakat Petani Desa Di Jawa.
Universitas Negeri Semarang Press : Semarang.
Pahmi Sy. 2010. Perspektif Baru Antropologi
Pedesaan. Gaung Persada Press : Jakarta.
Website :
www. bps-jateng.go.id.
www.bappedajateng.info
http://profsyamsiah.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar
Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.