23 Februari 2014

Konsep Pembangunan dalam Perspektif Budaya

Oleh : Iman Solikhin, S.Sos. *)

Konsep pembangunan yang selalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi (growth oriented) ternyata tidak berhasil membangun harkat dan martabat manusia secara hakiki. Berdasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan, pembangunan yang semacam itu terutama hanya menghasilkan pertumbuhan material, sehingga tidak mampu menghasilkan lapangan kerja yang mampu mewadahi orang miskin.
Pembangunan itu justru telah menjerumuskan dunia ke dalam tiga krisis besar yaitu ; kemiskinan, kekerasan, dan kerusakan lingkungan. Contoh konkret adalah bagaimana pembalakan liar dan penggundulan hutan yang kerapkali dilakukan demi sebuah proyek pembangunan.
Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan menuntut sumber daya yang lebih besar dan tak terbatas. Maka pembangunan seperti itu selalu ditandai dengan perebutan sumber-sumber sehingga mengundang persaingan, konflik, peperangan, dominasi bahkan penindasan.
Dalam kondisi seperti ini pengembangan manusia yang beretika dan beradab akan terabaikan. Dengan demikian pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan serta direncanakan secara rapi dari atas (top down) harus dikoreksi dengan paradigma pembangunan baru, yang sering disebut dengan pembangunan yang berpusat pada manusia (People Centered Development).
Ciri penting dari pembangunan paradigma baru ini adalah menempatkan manusia sebagai pusat (tujuan akhir) dari aktivitas pembangunan, bukan hanya sebagai alat. Tujuan tertinggi dari pembangunan adalah tercapainya human development. Jadi apapun yang dihasilkan oleh pembangunan, baik itu pembangunan ekonomi, fisik, akan dapat dikatakan berhasil jika mempu menciptakan dan mewujudkan human development (pembangunan manusia).
Meski demikian, menempatkan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan sebagai subjek maupun objek pembangunan bukanlah tanpa resiko. Sebab hal ini terkait dengan mentalitas atau sikap mental masyarakat desa yang cenderung tidak selaras dengan pembangunan. Sikap yang nrimo ing pandum atau pasrah pada keadaan merupakan salah satunya. Sikap ini hanya akan menghasilkan individu-individu yang malas untuk bekerja keras. Melihat fakta yang demikian, maka tulisan ini akan mencoba membahas mengenai konsep pembangunan masyarakat melalui sisi yang berbeda, yakni dari sisi sikap mental masyarakat yang kurang sesuai dengan semangat pembangunan.         

Pengertian Pembangunan
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). (http://profsyamsiah.wordpress.com).

Beberapa Sikap Mental Masyarakat Yang Cenderung Kurang Selaras Dengan Pembangunan
Dalam kaitannya dengan pembangunan, maka penulis melihat ada beberapa mentalitas masyarakat pedesaan yang tidak sesuai. Mentalitas atau sikap mental yang dimaksud disini adalah konsepsi-konsepsi dan pandangan–pandangan terhadap lingkungan yang sudah lama mengendap karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya dari generasi terdahulu. Sikap mental atau mentalitas tersebut antara lain :
a.      Secara umum masyarakat pedesaan tidak memiliki orientasi berprestasi.
Sikap mental yang seperti ini dapat dilihat dari persepsi masyarakat pedesaan mengenai waktu. Masyarakat desa pada umumnya tidak memiliki orientasi ke masa depan yang cukup kuat. Pada masyarakat biasa (kaum petani) orientasi kehidupannya didominasi ke arah masa kini. Artinya mereka merasa puas dengan apa yang telah dicapai saat ini. Sementara pada golongan priyayi, didominasi oleh orientasi ke masa lampau.
b.      Masyarakat pedesaan umumnya bersikap konformitas dan gotong-royong.
Gotong royong merupakan ciri umum kultur masyarakat pedesaan di Jawa Tengah. Gotong royong kerapkali dilakukan dalam berbagai sendi kehidupan, baik itu dalam bidang pertanian, pembangunan rumah maupun ketika ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal dunia. Orientasi hidup seperti ini memiliki nilai yang tinggi, tetapi jika dilakukan secara berlebihan dan tidak rasional akan dapat mematikan potensi seseorang. Sebab jika dikaitkan dengan pembangunan, orientasi hidup seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada individu untuk lebih berkembang dibandingkan yang lain.
c.       Orientasi hidup yang mementingkan pada hubungan dengan atasan (orientasi vertikal).
Orientasi vertikal adalah kepatuhan pada pimpinan, tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama. Masyarakat desa pada umumnya akan dengan mudah mengikuti dan melaksanakan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh pemimpin atau orang yang dituakan. Dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat, konsep hidup yang semacam ini kurang selaras karena hasrat untuk mandiri akan dimatikan dan disiplin murni sering tidak berkembang karena orang bersifat taat hanya apabila dilihat atau ada atasan.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Mustofa, 2005), nilai budaya yang berorientasi pada atasan, orang berpangkat tinggi, senior dan orang tua mengakibatkan hasrat untuk berdiri sendiri dan disiplin pribadi yang murni akan mati. Demikian pula mentalitas yang selalu menunggu restu dari atas, tidak mendukung pembangunan.
d.      Mentalitas takut mengambil resiko.
Sikap takut mengambil resiko merupakan ciri umum masyarakat pedesaan di Jawa Tengah dan juga mungkin di Indonesia. Sikap ini secara jelas terlihat ketika masyarakat dituntut atau dihadapkan pada sesuatu yang baru. Kita semua tentu masih ingat bagaimana dulu kalangan petani sangat susah ketika diajak untuk menggunakan pupuk. Atau bagaimana dulu masyarakat merasa enggan mengkuti Program KB. Tapi sekarang masyarakat secara sadar dengan sendirinya menggunakan pupuk dan alat kontrasepsi.
Namun ironisnya, sikap mental yang semacam ini hingga sekarang masih tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan. Salah satu contohnya adalah keengganan petani menggunakan pupuk organik sebagai pengganti pupuk kimia yang semakin langka. Sikap masyarakat pedesaan yang masih takut mengambil resiko tentu tidak sejalan dengan semangat pembangunan. Karena pembangunan kerapkali menawarkan sesuatu yang baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai budaya masyarakat yang telah ada.   
e.       Sikap suka pasrah pada keadaan atau nrimo takdir.
Orang Jawa memandang bahwa hidup sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa yang penuh dengan kesengsaraan, yang harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka menerima keadaan saat ini sebagai sebuah nasib atau takdir dari Sang Maha Pencipta. Rakyat kecil yang merupakan bagian terbesar masyarakat Jawa Tengah memiliki pandangan bahwa bekerja hanya untuk dapat dapat makan karena itu tidak perlu bekerja terlalu keras. Sikap mental yang demikian tentu kurang selaras dengan pembangunan karena masyarakat menjadi kurang memiliki keinginan untuk maju dan berusaha memperbaiki keadaan.


Kesimpulan
Pembangunan yang berpusat pada manusia terutama yang dilakukan di pedesaan berarti menyangkut pula persoalan kultur, budaya, sikap mental masyarakat yang telah mapan. Kenyataannya masih banyak mentalitas masyarakat pedesaan sebagai perwujudan kultur atau budaya yang masih kurang selaras dengan pembangunan. Dengan demikian pembangunan masyarakat pedesaan haruslah dilakukan dengan perencanaan yang matang termasuk bagaimana mencari solusi tentang mentalitas masyarakat pedesaan yang masih cenderung kurang selaras dengan pembangunan.  
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan pembangunan harus bisa menjadikan mentalitas masyarakat pedesaan sebagai kekuatan dalam proses pembangunan. Masyarakat sebagai objek sekaligus pelaku pembangunan juga seyogyanya berperan secara aktif terhadap setiap proses pembangunan. Dengan demikian setiap bentuk pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera bisa benar-benar terwujud.

*) Penulis adalah Penyuluh KB Kecamatan Bantarkawung

DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Moh Solehatul. 2005. Kemiskinan Masyarakat Petani Desa Di Jawa. Universitas Negeri Semarang Press : Semarang.
Pahmi Sy. 2010. Perspektif Baru Antropologi Pedesaan. Gaung Persada Press : Jakarta.

Website :
www. bps-jateng.go.id.
www.bappedajateng.info
http://profsyamsiah.wordpress.com


0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.

Klik Like! : Apakah anda tertarik dengan blog ini?