Oleh : Iman Solikhin, S.Sos. (PKB Kecamatan Bantarkawung)
Dewasa ini gender menjadi salah satu topik bahasan yang banyak diperbincangkan. Menyinggung istilah gender lebih dari sekedar membicarakan laki-laki dan perempuan sebagai jenis kelamin, melainkan mencakup kesetaraan hak manusia dalam mengakses kesejahteraan maupun sumber-sumber kehidupan yang lain. Gender dapat didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2003 : 7). Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Selain itu, sifat-sifat itu dapat berubah dari waktu ke waktu serta dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Dengan ciri sifat yang demikian maka sejatinya gender tidaklah sama dengan seks (jenis kelamin). Jenis kelamin merupakan pensifatan yang ditentukan secara biologis, bersifat universal serta tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Sebagai contoh laki-laki mempunyai penis dan mengeluarkan sperma sementara perempuan mempunyai vagina dan menghasilkan sel telur.
Dewasa ini gender menjadi salah satu topik bahasan yang banyak diperbincangkan. Menyinggung istilah gender lebih dari sekedar membicarakan laki-laki dan perempuan sebagai jenis kelamin, melainkan mencakup kesetaraan hak manusia dalam mengakses kesejahteraan maupun sumber-sumber kehidupan yang lain. Gender dapat didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2003 : 7). Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Selain itu, sifat-sifat itu dapat berubah dari waktu ke waktu serta dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Dengan ciri sifat yang demikian maka sejatinya gender tidaklah sama dengan seks (jenis kelamin). Jenis kelamin merupakan pensifatan yang ditentukan secara biologis, bersifat universal serta tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Sebagai contoh laki-laki mempunyai penis dan mengeluarkan sperma sementara perempuan mempunyai vagina dan menghasilkan sel telur.
Adanya perbedaan gender pada dasarnya tidak akan menjadi sebuah masalah ketika dalam proses perkembangannya tidak melahirkan sebuah ketidakadilan. Namun sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya, dimana isu ketidakadilan gender sebagai aktualisasi dari perbedaan gender. Dari berbagai fakta yang terungkap, sebagian besar korban dari ketidakadilan gender adalah kaum perempuan. Ketidakadilan gender terjadi di hampir semua bidang kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga (keluarga). Dalam keluarga, praktik-praktik ketidakadilan yang terbukti lebih banyak merugikan kaum perempuan ini termanifestasikan dalam pelbagai bentuk berikut :
Pertama adalah adanya subordinasi terhadap kaum perempuan. Secara sederhana subordinasi dapat diartikan sebagai penomorduaan yang harus diterima oleh salah satu jenis kelamin yang dalam hal ini adalah perempuan, dalam berbagai aktivitas kehidupan (Arif Darmawan, 2008 : 20). Dalam rumah tangga, subordinasi terhadap perempuan biasanya terjadi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kultur keluarga kita, perempuan seringkali tidak cukup mendapat porsi yang seimbang dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Alasan yang seringkali dikemukakan adalah karena perempuan lebih bersifat emosional dan kurang menggunakan rasionalitas. Contoh paling nyata adalah dalam hal keluarga berencana dan kegiatan reproduksi. Dalam rumah tangga, keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi biasanya sangat tergantung pada seorang laki-laki (suami), demikian pula halnya tentang berapa jumlah anak yang akan dimiliki.
Penomorduaan perempuan dalam kehidupan keluarga juga dapat dilihat dari aspek pendidikan. Banyak orang tua yang lebih memprioritaskan anak laki-laki untuk menempuh pendidikan tinggi dibanding anak perempuan dengan alasan karena kelak tugas perempuan hanyalah seputar urusan dapur, sumur dan kasur. Perempuan tidak banyak diberi kesempatan mendapatkan pendidikan lebih, hanya karena dia seorang perempuan. Padahal sejatinya kemampuan akademik seorang perempuan pun tidak kalah dibanding kaum laki-laki.
Marjinalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan yang selanjutnya adalah marjinalisasi terhadap perempuan. Marjinalisasi merupakan upaya peminggiran terhadap perempuan terutama terhadap sumber-sumber ekonomi. Tidak salah jika kemudian marjinalisasi kerap diistilahkan dengan upaya pemiskinan terhadap perempuan. Dalam institusi keluarga bentuk ketidakadilan yang semacam ini tampak nyata dalam hal pembagian hak waris. Kultur masyarakat kita terutama yang masih memegang teguh tradisi mengenal istilah “sepikul segendongan”. Makna dari istilah ini adalah bahwa dalam pembagian hak waris, seorang anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lebih banyak dibanding anak perempuan. Meski tradisi ini mulai jarang ditemukan, tetapi tetap saja kondisi yang seperti ini tentu tidaklah adil bagi kaum perempuan.
Persoalan ketiga yang dihadapi kaum perempuan adalah stereotipe atau pemberian label negatif. Kehidupan sosial kita, kerapkali menganggap perempuan sebagai sesosok makhluk yang emosional, sementara laki-laki dianggap sebagai makhluk yang rasional. Padahal dalam kenyataannya yang terjadi bisa sebaliknya. Institusi keluarga ternyata ikut memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pelabelan ini. Orang tua secara sadar atau tidak ikut membentuk karakter anak laki-laki atau anak perempuan. Kita semua tentu ingat bagaimana orang tua baik melalui ucapan ataupun perilaku, selalu mengarahkan anak perempuan untuk menjadi pribadi yang lemah lembut, cengeng dan emosional. Sementara, bagi anak laki-laki selalu diarahkan untuk menjadi anak yang rasional, agresif dan kuat. Wejangan yang berlaku umum seperti “anak laki-laki tidak boleh cengeng”, “anak perempuan harus lemah lembut”, merupakan wejangan yang selalu disampaikan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Padahal masa anak – anak adalah masa belajar, sehingga konsep perilaku yang demikian akan terbawa selamanya.
Keempat adalah beban ganda yang harus dipikul oleh seorang perempuan. Kondisi ini menjelaskan bahwa perempuan menerima ketidakadilan ketika secara bersamaan dia harus bertanggung jawab terhadap urusan keluarga dan domestik, namun juga harus dihadapkan pada tuntutan untuk bekerja di luar ketika secara ekonomi suami tidak dapat diandalkan (Arif Darmawan, 2008 : 22). Perempuan terutama yang bekerja, harus mempunyai energi dan stamina yang luar biasa karena disamping harus ikut menanggung beban ekonomi keluarga, dia juga masih diwajibkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Kondisi ini terjadi karena kultur masyarakat kita masih menganggap hal yang tabu jika seorang suami memasak, mencuci piring, memandikan anak ataupun tugas-tugas rumah yang lain. Parahnya, kondisi ini diperparah dengan kurangnya kesadaran dari seorang suami untuk berbagi tugas dengan istri. Tidak banyak laki-laki (suami) yang bersedia untuk sekedar menyetrika atau mencuci baju sendiri. Maka tidak heran jika kemudian muncul istilah tugas istri adalah “semenjak matahari terbit sampai dengan mata suami terpejam”.
Tidak hanya istri (ibu) yang berperan ganda, dalam pembagian tugas di rumah, seorang anak perempuan pun kerapkali diperlakukan secara berbeda oleh orang tuanya. Disamping tugas utamanya sebagi seorang anak seperti belajar dan sekolah, anak perempuan juga diwajibkan untuk membantu tugas-tugas rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, hampir dapat dipastikan orang tua akan menyuruh anak perempuan bukan anak laki-laki. Proses sosialisasi melalui pembiasaan yang demikian ini pada akhirnya membentuk semacam label bahwa tugas perempuan adalah pada sektor domestik.
Kekerasan terhadap Perempuan
Persoalan terakhir atau kelima yang dihadapi kaum perempuan termasuk dalam ranah rumah tangga (keluarga) adalah kekerasan rumah tangga (KdRT). Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) secara sederhana dapat dimaknai sebagai kekerasan yang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain. Kekerasan yang terjadi bisa dalam bentuk kekerasan secara fisik, psikis maupun ekonomi. Meski dapat terjadi yang menjadi korban adalah laki-laki, namun lebih banyak korbannya adalah perempuan. Ironisnya, meski telah ada UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, namun fenomena tindak kekerasan terhadap perempuan tidak menunjukan gejala penurunan, justru malah meningkat. Sikap masyarakat yang permisif terhadap tindak KdRT merupakan salah satu faktor kendala dalam upaya meminimalisir tindak KdRT. Masyarakat masih menganggap bahwa persoalan KdRT adalah persoalan privat, bukan persoalan sosial.
Jika perbedaan gender telah melahirkan bentuk ketidakadilan gender yang nyata-nyata merugikan kaum perempuan, pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa hal tersebut masih berlangsung, bahkan dalam ranah keluarga??? Dari berbagai literatur yang ada, hampir semua para pemerhati kesetaraan gender sepakat bahwa hal ini tidak lain karena masih kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat. Secara sederhana, budaya patriarkhi didefinisikan sebagai budaya atau pola pikir yang menempatkan kaum laki-laki selalu lebih unggul dibanding kaum perempuan. Patriarkhi berkembang dan tumbuh dalam pola pikir dan perilaku masyarakat karena adanya proses sosialisasi yang berkesinambungan melalui berbagai saluran termasuk keluarga.
Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga yang merupakan dasar menuju keluarga harmonis. Keluarga yang benar-benar sejahtera adalah yang di dalamnya terjadi hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antar anggota keluarga. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kehidupan rumah tangga justru merupakan awal adanya kekuasaan laki-laki terhadap perempuan (patriarkhi). Fakta-fakta yang disampaikan di atas merupakan gambaran nyata bagaimana relasi gender yang terjadi dalam rumah tangga belum menunjukan adanya kesetaraan. Melihat fenomena yang demikian, tidak salah jika sekiranya penulis berani menyatakan bahwa keluarga merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya budaya patriarkhi. Untuk itulah upaya untuk selalu mensosialisaikan pentingnya kesetaraan gender merupakan sebuah keniscayaan, demi terwujudnya keluarga dan masyarakat yang harmonis.
Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga yang merupakan dasar menuju keluarga harmonis. Keluarga yang benar-benar sejahtera adalah yang di dalamnya terjadi hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antar anggota keluarga. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kehidupan rumah tangga justru merupakan awal adanya kekuasaan laki-laki terhadap perempuan (patriarkhi). Fakta-fakta yang disampaikan di atas merupakan gambaran nyata bagaimana relasi gender yang terjadi dalam rumah tangga belum menunjukan adanya kesetaraan. Melihat fenomena yang demikian, tidak salah jika sekiranya penulis berani menyatakan bahwa keluarga merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya budaya patriarkhi. Untuk itulah upaya untuk selalu mensosialisaikan pentingnya kesetaraan gender merupakan sebuah keniscayaan, demi terwujudnya keluarga dan masyarakat yang harmonis.
0 komentar:
Posting Komentar
Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.