15 Agustus 2010

Gender VS Neopornolitikum

Oleh:  Sudirno, Staff Badan KB dan PP Kab Brebes.

Diskursus tentang  Gender sering diadakan dimanapun, lebih-lebih di lingkungan akademis. Berbagai diskusi, debat, konkow, atau apapun namanya digelar. Bahkan di lembaga pemerintahpun ada bidang sendiri yang mengurusi masalah Gender, seperti yang kita tahu, Pemerintah dengan corong Kememterian Pemberdayaan Perempuan, lalu di daerah ada Badan tersendiri yang mengurusi Pemberdayaan Perempuan. Semua itu merupakan refleksi dari pergerakan yang disebut dengan Gender. Lalu apa Gender itu ?

Gender sebagai konsep analisisis dan perspektif untuk memandang kenyataan yang lebih cocok untuk dijadikan kajian tentang perempuan dan segala fenomenanya. Hal ini merupakan kenyatan yang tidak bisa dihindari dan dipungkiri, lebih–lebih perempuan merupakan komunitas terbesar  di negara kita. Mencerdaskan dan memperhatikan hal–hal perempuan berarti memberi harapan besar bagi kemajuan bangsa dan negara.

Diakui atau tidak, selama ini relasi antara laki-laki dan perempuan dalam realitas kehidupan cenderung kurang adil. Ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan dari spirit yang menekankan konsep keadilan. Relasi yang kurang baik tersebut bertahan cukup lama karena ia terkait dengan aspek teologi, budaya, politik dan sebagainya. Kita bisa menghitung berapa keterwakilan perempuan dalam organisasi agama, masyarakat, bahkan jabatan dalam pemerintahanpun masih bisa dihitung dengan jari baik dari segi jumlah maupun peranannya, padahal di sisi kemampuan sudah bisa disejajarkan dengan kaum maskulin.

Dalam aspek teologi misalnya, banyak ditemui penafsiran keagamaan terhadap ayat dan hadis yang tidak sesuai dengan prinsip gender, bahkan bias pada laki-laki. Seperti cerita tentang tulang rusuk , perempuan dianggap sebagai “Sempalan“ Adam dan pelanggaran Hawa dihubungkan dengan dosa warisan sehingga perempuan dianggap sebagai penyebab terjerumusnya kaum laki-laki padahal bukanlah demikian esensinya. Bangunan tafsir teologi ini wajib ditinjau ulang karena berawal dari sinilah mengapa kebanyakan kaum perempuan menerima kenyataan dirinya sebagai given atau sumbangan bagi kaum lelaki. Bahkan tidak sedikit dari mereka  merasa happy jika mengabdi sepenuhnya pada lelaki.

Sementara pada aspek budaya, terdapat budaya patriarki yang semakin kuat, dimana budaya ini menganggap mapan peran laki-laki dalam hal melakukan dan menentukan apa saja, sebaliknya perempuan justru berada pada posisi sub ordinat yang tidak di wilayah publik. Selalu menjadi second person setelah laki-laki. Begitupun dalam aspek politik, banyak praktik politik yang mendiskriminasikan perempuan, semisal kurangnya perempuan dalam menduduki posisi struktural strategis, sehingga seakan–akan otoritas perempuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan sering diabaikan. Amat disayangkan, apabila seorang petinggi di daerah masih ada yang mengatakan kurangnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan demi menjaga stabilitas rumah tangga. Suatu pernyataan yang tidak ada relevansinya dengan kemampuan kaum perempuan. Bukankah dalam pemerintahan tidaklah akan mengurusi rumah tangga seseorang?

Neopornolitikum
Mendengar istilah Neopornolitikum, mungkin pembaca akan teringat pelajaran pra-sejarah ketika masih di bangku SMP. Dalam mata pelajaran ini dibahas mengenai beberapa jenis zaman purba, ada paleontilikum, megalitikum, neolitikum dan tikum-tikum yang lain (mohon untuk tidak dibahas karena ini hanya istilah gawean saja).  Neopornolitikum juga merupakan istilah gawean penulis, merupakan gambaran sebuah zaman dimana hal-hal yang berbau porno akan dianggap lumrah dan hal biasa saja. Kepala boleh sama hitamnya tapi isi kepala sudah pasti berbeda-beda. Itulah mengapa regulasi yang mengatur pornografi dan porno aksi selalu menuai kontroversi. Definisi pornografi dan pornoaksi sendiri sejak bertahun tahun lalu tidak pernah ada kata mufakat. Wa haji Roma Irama bilang goyang inul itu erotis, tapi ruhut poltak sitompul mengatakan itu seni. Pakaian You can see (maaf, dengan ketiak yang kelihatan) dulu dianggap tidak sopan, sekarang malah you can see everything (boleh kau lihat apa-nya saja setiap saat). Mungkin inilah satu babak baru dari Zaman Neopornolitikum!

Kita sebagai bangsa telah mengalami periode sejarah yang panjang dimulai dengan era Paleontilikum, Mesolitikum, Neolitikum hingga Megalitikum, lalu dilajutkan dengan Kolonialitikum, Revolusitikum,  Ordelitikum, Reformasitikum dan yang terakhir yang masih ngetren adalah Jabatanikum (Sekali lagi ini hanya istilah gawean —piss!).

Setiap periode selalu ditandai dengan hasil kebudayaanya. Kalau Megalitikum ditandai dengan kebudayaan batu besar, menhir, kuburan batu dsb, maka era  neopornolitikum ditandai dengan menguatnya pornografi dan pornoaksi. Hal-hal yang awalnya tabu (khusunya porno-pornoan) sekarang tidak hanya trend tapi menjadi adiluhung. Belum lama ini kita digemparkan dengan video yang pelakunya konon “ mirip “ artis  papan atas di indonesia (Ariel-Luna dan Cut Cut). Saking hebohnya sampai mengalahkan gempita Piala Dunia yang notabene ditunggu setiap empat tahun sekali. Spontan berbagai diskusipun digelar dari kelas lokal sampai nasional bahkan  mancanegara. Menteri dan Dewanpun ikut pula membahasnya……ruaarr biasa. Ironisnya pengajian menyimak video mesum dengan media HP dilakukan bukan hanya oleh orang dewasa tapi juga anak-anak. Kalau dulu di tahun 2000 an kita dihebohkan bahwa 90 % mahasiswi di jogjakarta sudah tidak virgin, sekarang berdasarkan data KPAI bahwa 90 % pelajar indonesia (SMP dan SMA) sudah pernah menyaksikan video porno, 60 % sudah melakukan kissing dan  50%  pernah berhubungan seks (KPAI, 2010).

Era neopornolitikum menyiratkan budaya yang mengagungkan tubuh, sensualitas dan erotisme yang tergerakan oleh dorongan libido. Tak sekedar tubuh, paha, dada, atau pundak tetapi apa yang dimunculkan adalah motif kemesuman. Bisa saja Ariel berdalih ini adalah bagian dari seni. Hemm????

Pornografi dan pornoaksi muncul sebagai bentuk dari penerimaan kita terhadap ideologi kebiasaan dan hedonisme (budaya senang-senang…coy). Kebebasan semestinya memberi ruang untuk melakukan perbaikan, pemuliaan dan peningkatan kualitas kehidupan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kebebasan dipandang bebas dari agama, norma, etika dan nilai-nilai tradisi. Agama, norma dan tradisi dipandang sebagai penghalang terbesar bagi kemajuan , kebebasan dan pemuasan kesenangan duniawi. Kebahagiaan yang kita cari ini adalah kesenangan duniawi, yang fisikal dan tempramental, bukan kebahagiaan yang hakiki yang meningkatkan kualitas spiritual.

Lalu apa kaitan antara Gender VS Neopornolitikum? Gender adalah satu pergerakan yang dimotori untuk kesetaraan kaum perempuan sedangkan pornoisme juga menggunakan objek perempuan, meski tidak semuanya namun sebagian besar dan jauh lebih besar yang menjadi objek adalah perempuan.  Ketika sekelompok orang memperjuangkan gender sebagai sebuah pergerakan dan di sisi lain memasuki era neopornolitikum bahkan mungkin megapornolitikum, makna gender akan menjadi bias termarginalkan oleh pornoisme yang menggunakan objek tubuh perempuan. Orang tidak lagi simpati terhadap gerakan gender selama perempuan masih menjadi objek pornoisme, lebih parah lagi mereka yang tergabung dalam aktivis gender adalah aktifitis penentang UU anti pornografi. (Artis yang  tercatat sebagai aktivis gender juga sekaligus aktivitis penetang UU anti pornografi). Implikasi dari hal tersebut adalah menjadi presenden buruk bahwa pergerakan gender hanya akan menyempit dan berkutat pada masalah tuntutan kesetaraan dan kebebasan semata demi pemenuhan hedonia (seneng-seneng tok). Untuk itu pergerakan gender juga semestinya peduli terhadap anti-neopornolitikum dengan mengkampanyekan pula anti pornoisme, anti pelaku porno, meski pelakunya adalah perempuan, dan bukan hanya sekedar menjadi diskursus semata.

Ednotes :
  1. Zaetunah Subhan, 2008, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta.
  2. Makhrus, 2006, Kritik Nalar Teologi Gender.
  3. Karwanto, 2009, Feminisme Fungsional.
  4. Joko TH, 2006, Goresan Porno.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.

Klik Like! : Apakah anda tertarik dengan blog ini?