15 Agustus 2010

BKBPP dan Citarasa Batik Salem

Oleh: Firdaus Hanif, ST (Penyuluh KB Kec Salem)

Tangan-tangan terampil itu menggoreskan malam cair ke kain mori putih, melukiskan bunga-bunga nan menawan. Para ibu ini tengah membatik dalam sebuah acara pelatihan. Suatu momentum ajang asah kemampuan para pengrajin batik dari desa Bentarsari dan Bentar, kecamatan Salem.
Pada 15-23 Juli 2010, BKBPP Kab Brebes menyelenggarakan pelatihan membatik bertempat di Balai Desa Bentarsari. Ada 30 orang dengan 2 di antaranya laki-laki menjadi peserta. Acara pembukaan dilangsungkan Kamis (15/7) dan ditutup Jumat pekan berikutnya (23/7). Ibu Ir. Daru Handini selaku perwakilan dari Kepala BKBPP hadir untuk membuka dan menutup kegiatan ini. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya belajar mengasah kemampuan dalam ajang pelatihan ini. Pesan disampaikan kepada para peserta yang sebetulnya telah memiliki kemampuan membatik yang baik. Peserta diharapkan mampu mengambil ilmu dari asuhan instruktur yang ada.
Pelatihan secara praktik ini menghadirkan 2 orang instruktur yang mumpuni di tingkat Nasional. Abdul Khanan dari Bumiayu dari Hj Suratni dari desa Bentarsari sendiri. Khanan yang telah malang melintang di sektor batik ini memperdulikan kelestarian batik Salem. Seperti dia sampaikan dalam sesi pelatihan, jangan sampai batik tulis Salem ditinggalkan karena maraknya batik cap. Dia pun selalu menampung pasokan batik Salem untuk diperkenalkan ke kancah nasional.
Kepada penulis, seorang peserta laki-laki, Warwin, yang berprofesi sebagai pengepul batik mengatakan, ada 400 orang pengrajin batik di kecamatan Salem, tersebar di 4 desa yakni Bentarsari, Bentar, Pasirpanjang, dan Ciputih. “Setiap bulannya pas banyak pesanan para pengrajin itu bisa mensuplai 1000 potong,” ujar dia.
Warwin menambahkan bahwa permintaan sebenarnya bisa lebih banyak, hanya saja pengrajin setempat terkendala oleh modal. Banyak kebutuhan yang dibutuhkan pengrajin dalam membatik namun belum mampu terbeli. Kompor adalah contoh kebutuhan itu. Kompor untuk keperluan membatik punya ciri khas menyalakan api seperti nyala lilin. Kompor membatik biasanya berbahan bakar minyak tanah dengan nyala kecil. Di saat sekarang, minyak tanah susah diperoleh dan harganya melambung tinggi, maka diperlukan sebuah desain baru kompor membatik yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Desain kompor membatik yang baru telah muncul. Sebuah model kompor gas dengan nyala api sebesar nyala lilin telah beredar di pasaran. Hanya saja masalahnya, kebanyakan pengrajin batik belum mampu membelinya.
Kebutuhan lain tak kalah penting, menurut Warwin, adalah gledekan. Itu sebuah alat pencuci dan pewarnaan batik. Dengan memanfaatkan gledekan, selembar kain yang akan diwarnai tidak akan terlipat-lipat sehingga warna menjadi bagus, warna tidak pecah oleh adanya lipatan kain.
“Bagi kami, para pengrajin batik Salem peralatan itu mahal, tapi bagi pemerintah kami yakin tidak seberapa. Katakanlah, tiga juta lima ratus ribu tiap satu set,” jelas Warwin. Tidak bisa dipungkiri, bantuan permodalan dari pemerintah tetap dibutuhkan.

Batik Salem di Kancah Nasional
Batik Salem adalah karya seni batik tulis yang telah menjadi ikon cukup penting bagi Kabupaten Brebes. Menurut Hj Suratni yang juga seorang pengrajin terkemuka di Salem, batik Salem cocok dikatakan sebagai keturunan batik Pekalongan. Suratni sendiri mengakui bahwa keluarganya berasal dari garis keturunan pengrajin batik Pekalongan. Ia saat ini menjadi generasi ketiga pengrajin batik di Salem. Kelurganya mempopulerkan batik di kecamatan ini. Hasilnya, tidak sedikit warga Salem yang ikut menekuni bisnis ini.
Meski asal mulanya berasal dari Pekalongan, batik Salem berbeda secara corak dan motifnya. Juga tidaklah sama dengan batik Jogja dan Solo. Sempat terdengar kabar bahwa batik Salem bercikal bakal dari Jogja, namun setelah dirunut tidak ditemukan bukti yang jelas tentang kaitan antara batik Salem dan batik Jogja.
Batik Salem berkembang secara baik hingga memunculkan corak dan motif yang berbeda dari batik daerah lain. Umumnya motif pola batik Salem terinspirasi dari kekayaan sumber daya alam lokal yang ada. Ibu Suratni yang hobi membuat motif-motif baru ini menuturkan, “Motif bisa diambil dari perpaduan. Bunganya diambil dari bunga ini, nanti tangkainya dari bunga yang lain, dan daunnya beda lagi.”
Sementara itu, batik Salem diharapkan memiliki corak warna yang klasik, demikian diungkapkan Khanan. Warna klasik diminati karena disanalah citarasa batik yang sebenarnya. Dengan melakukan penguatan di bidang pewarnaan klasik, para pengrajin batik Salem semakin memperjelas ciri khas (brand) batik Salem di tengah ramainya pasar batik nasional.
Melihat potensi batik Salem yang luar biasa, BKBPP menaruh perhatian untuk turut ambil bagian melestarikan dan meningkatkan kualitas batik Salem. Pelatihan membatik ini salah satu wujud kepedulian BKBPP. Kepala UPT BKBPP Kec Salem, Rasko Turnomo, menegaskan kembali kepada para peserta menjelang acara penutupan digelar. “Tujuan pelatihan ini untuk meningkatkan ilmu dan pengalaman. Nanti ibu punya ilmu, punya pengalaman. Jadi nantinya bisa meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan,” ucapnya.
Hj Suratni secara pribadi sempat menyampaikan kepada penulis, bahwa pelatihan ini dapat melatih kedisiplinan para pengrajin yang selama ini tidak menerapkan tata cara pewarnaan yang benar. Di situlah leatak kelemahan batik Salem. Warna batik cepat luntur. Warna batik yang cepat luntur bukanlah ciri khas batik Salem, tandas Suratni, tetapi murni karena ketidakdisiplinan sebagian pengrajin.
Lain dengan Hj Suratni, salah seorang peserta pelatihan, Siswo menuturkan, lunturnya warna batik Salem karena ulah para pembatik cap. Batik mereka diklaim sebagai batik Salem. Siswo pun menyampaikan kekhawatirannya, batik tulis di Salem bisa saja terdesak oleh munculnya batik cap di lokasi yang sama. Terlebih lagi apabila batik cap diproduksi lebih banyak.

Hasil Pelatihan: Memberi Solusi dari Kelemahan Batik Salem
Terlepas dari benar tidaknya batik cap yang diklaim sebagai batik Salem, batik tulis sendiri masih mengalami kelemahan tentang lunturnya warna. Hj Suratni mengatakan sebuah kalimat yang cukup unik, “Kelemahannya adalah masalah kekuatan.” Yang dimaksud dari kata kekuatan di sini adalah kekuatan warna untuk melekat di kain mori. Sebagaimana telah disebutkan di atas, lunturnya warna batik Salem karena akibat ketakdisiplinan pengrajin.
Pengrajin terkadang suka menggampangkan proses pewarnaan. Setiap obat warna memiliki urutan tersendiri dalam pemakaiannya, mana yang harus lebih dulu, dan mana yang berikutnya. “Pembatik sering menggabungkan 2 obat sekaligus dalam sekali perendaman,” ujar Suratni. Penggabungan 2 obat warna ini meskipun menghasilkan warna akhir yang sama dengan proses yang dilakukan satu persatu, akan tetapi, warna batik akan cepat luntur karena warna kurang melekat secara kuat di kain.
“Seharusnya,” imbuh Suratni, “sebagai contoh untuk menghasilkan warna akhir coklat, obat pertama sebagai dasar adalah warna kuning, barulah lapis keduanya coklat.” Oleh karena itu, pengrajin hendaknya tidak berorientasi untuk mengejar warna akhir yang diinginkan semata. Perlu kedisiplinan (baca-kesabaran) dalam proses pewarnaan batik.
Pelatihan membatik yang diselenggarakan BKBPP pun telah usai. Para pengrajin batik Bentarsari dan Bentar dituntut mampu mengambil manfaat dari pelatihan ini, setidaknya satu ilmu atau suatu ajaran kedisiplinan bagi pengrajin. Akhirnya, bentuk kepedulian BKBPP terhadap batik Salem tidaklah cukup berakhir di situ. Harus ada tindak lanjut program berikutnya. Karena, BKBPP sebagai salah satu instansi pemberdayaan keluarga dan perempuan di lini terdepan tidak boleh hanya sekedar mencicipi Citarasa Batik Salem.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.

Klik Like! : Apakah anda tertarik dengan blog ini?