15 November 2010

Pandangan Islam Terhadap Program Keluarga Berencana

Oleh: Arif Rusman, S. Si
Definisi Keluarga Berencana 
            Menurut Undang–Undang No 52 Tahun 2009, Tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga (UU PK-PK), Keluarga Berencana (KB) didefinisikan sebagai upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Dalam undang–undang sebelumnya (UU no. 10 tahun 1992) termuat tentang pengertian Keluarga, bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dengan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Sedangkan Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi antar anggota, antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik, material psikis, mental, dan spiritual, guna hidup mandiri serta mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kesejahteraan batin. Suatu Keluarga disebut memiliki ketahan dan kemandirian yang tinggi kalau keluarga itu dapat berperan dalam mewujudkan seluruh potensi anggota–anggotanya. Karena itu tanggung jawab keluarga meliputi tanggung jawab terhadap kesehatan anggota keluarga, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya dan lain-lain. Ketahanan keluarga erat kaitannya dengan uapaya menggerakkan fungsi-fungsi keluarga, seperti fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Fungsi inilah yang perlu dimiliki dan dilaksanakan oleh seluruh keluarga Indonesia. 

Keluarga dalam Perspektif  Islam
Untuk membentuk keluarga disyaratkan adanya pernikahan. Pernikahan adalah hal yang fitrah dan didambakan oleh setiap orang normal, baik laki-laki maupun perempuan baligh untuk mendapatkan ketenangan dan keturunan dalam kehidupannya.
Islam memang memberikan perhatian yang besar pada penataan keluarga, ini terbukti dari seperempat ( ¼ ) bagian dari fiqh (hukum islam) yang dikenal dengan rub’u fiqh almunakahat (seperempat masalah fiqh nikah) berbicara tentang keluarga. Puluhan ayat Alquran dan ratusan hadist Nabi yang memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga, hak dan kewajiban masing–masing unsur dalam keluarga hingga hingga masalah warisan dan perwalian.

Ber-KB dalam pandangan Islam
Bolehkah pasangan suami–istri membatasi atau mengatur jumlah keturunan? Atau, Apakah diperbolehkan membatasi jumlah keturunan karena  motivasi dari kekhawatiran kekurangan rezeki bagi hamba–hambaNya atau karena alasan kesehatan reproduksi? Atau, Bolehkah Negara membuat peraturan yang membatasi jumlah keturunan dalam setiap keluarga? Pertanyaan– pertanyaan ini biasanya muncul dalam pembahasan Program Keluarga Berencana.
Keabsahan kontrasepsi menurut Alquran dan Sunnah dapat kita telusuri. Suatu peninjauan kembali terhadap Alquran secara cermat mengungkapkan bahwa tidak ada nas yang melarang perbuatan pencegahan kehamilan atau pengurangan jumlah anak, bahkan ada beberapa hadits nabi yang menunjukkan kehalalannya. Ini diterima oleh para jumhur ulama.
Para sarjana fiqih sekarang tidak menyebut metode-metode lain selain al-azl (senggama terputus), karena hanya itu yang dikenal pada masa itu. Melalui kias, metode kontrasepsi alternatif dapat diijinkan sejauh tujuannya untuk mencegah kehamilan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya metode modern itu dipakai sejauh tidak menghancurkan kesuburan atau kemampuan untuk mendapatkan keturunan. Itulah sebabnya para ahli fiqih Hanafi memperluas ijin dengan menutup mulut uterus, seijin suami. Untuk alasan yang sama ahli fiqih Syafi’i memperkenankan penangguhan kehamilan untuk suatu jangka waktu.
Ada 2 ayat yang berkaitan dengan KB, yaitu ayat 31 yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” dan.
ayat 9 dari surat An-Nisa yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang baik.”
Islam sendiri menganjurkan untuk memperbanyak keturunan dan mensyukuri setiap anak yang lahir, baik laki-laki maupun  perempuan. Namun di balik itu islam juga memberi keringanan(rukhshah) bahkan menyerukan kepada setiap muslim untuk mengatur keturunannya demi kualitas generasi berikutnya. Alllah SWT berfirman yang artinya, “…., mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…” (QS. 46 :15). Sehingga, seandainya jarak kehamilan kurang dari 30 bulan ada kemungkinan terkena resiko buruk, paling tidak kesehatan si ibu akan terganggu dan menjadi lemah.
Diantara sekian banyak alasan yang mendorong dilakukannya keluarga berencana, yaitu:
Pertama : Mengkhawatirkan terhadap kehidupan atau kesehatan si ibu apabila hamil atau melahirkan anak, setelah dilakukan suatu penelitian pemeriksaan oleh dokter yang dapat dipercaya.
Kedua    : Kekhawatiran akan terjadinya bahaya pada urusan dunia yang kadang–kadang bisa mempersukar beribadah, sehingga menyebabkan orang mau menerima barang yang haram dan mengerjakan yang terlarang, justru untuk kepentingan anak–anaknya.
Ketiga  : Keharusan melakukan azl (senggama terputus) yang biasa terkenal dengan syara’ ialah karena mengkhawatirkan kondisi perempuan yang sedang menyusui kalau hamil dan melahirkan anak baru. Nabi SAW menamakan bersetubuh sewaktu perempuan masih menyusui, dengan ghilah atau ghail, karena penghamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan anak. Dan dinamakannya ghilah atau ghail karena suatu bentuk kriminalitas yang sangat rahasia terhadap anak yang sedang disusui. Oleh karena itu sikap seperti ini bisa dapat dipersamakan dengan pembunuhan misterius (rahasia).
Rasulullah memperingatkan, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu secara rahasia, karena ghail (perempuan hamil yang menyusukan anaknya) itu mengejar penunggang kuda (pendekar) lalu dilemparkan dari kudanya.” (HR Abu Daud). Oleh karena itu, nabi membimbing supaya meninggalkan ghail kendati bukan melarangnya, namun bukan persoalan mudah karena menutup pintu bahaya ghail tidak dapat menghindari mafsadahmaslahah dalam permasalahan ini lebih kuat daripada mafsadah. yang bisa saja terjadi karena tertahannya jima’, lebih–lebih orang muda dan syahwatnya masih tinggi. Itulah sebabnya Beliau mengetahui, bahwa
Di zaman kita ini sudah ada beberapa metode dan alat kontrasepsi yang bisa diandalkan (kontrasepsi yang rasional) yakni bisa menjadi pilihan pasangan suami–istri atau klien secara sukarela yang didasarkan pada pertimbangan rasional dari sudut teknis penggunaan, kondisi medis dan kondisi sosial ekonominya, yang dapat dipastikan kemaslahatannya. Dan justru maslahah itulah yang dituju nabi Muhammad SAW yaitu melindungi anak yang masih menyusu dari marabahaya termasuk menjauhi mafsadah yang lainya.
Dalam perspektif itulah umat Islam harus berupaya membangun dan mewariskan kualitas hidup yang lebih baik kepada generasi penerus. Langkah ke arah tersebut hendaknya dimulai dari sejak pembentukan keluarga, sehingga keluarga akan berpeluang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik, material psikis, mental, dan spiritual, guna hidup mandiri serta mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kesejahteraan batin, sebagaimana didefinisikan dalam UU no 52 tahun 2009.



Sumber:
1.      Membangun Keluarga Sehat dan Sakinah, BKKBN: 2008.
2.      Majalah Hidayatullah edisi Nopember 2008.
3.      Drs. H Budiharto, H O Pandangan Islam terhadap KB.
4.      dr. H. Sugiat AS, S.KM, Pokok Pikiran Tentang Kondom Sebagai Kontrasepsi Pria Ditinjau Dari Sosial Budaya/Agama, BKKBN: 2002.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Hidup ketua IPEKB Kab. Brebes...

Anonim mengatakan...

matur nuwun tausyiah mas ustad Arif

Posting Komentar

Kami mengajak pembaca untuk berkomentar di artikel ini. Berkomentarlah secara bijak.

Klik Like! : Apakah anda tertarik dengan blog ini?